Kamis, 23 Oktober 2014

Sastra dan masyarakat beberapa mediasi


Sastra dan masyarakat beberapa mediasi
Teori strukturalisme-genetik goldmann mengukuhkan adanya hubungan antara sastra dengan masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikan. Akan tetapi ada beberapa kritik yang menyatakan bahwa teori tersebut masih sederhana sekali untuk memahami dan menjelaskan fenomena sosial sastra. Swingewood  mengisyaratkan perlunya pemahaman  mengenai tradisi sastra dengan masyarakat. Wolff juga mengisyaratkan perlunya mempertimbangkan formasi sosial yang di luar batas kelas sebagai mediasi dari hubungan antara sastra masyarakat terseut.
            Wolff bahkan menemukan persoalan yang lebih rumit dari sekedar kedua kemugkinan mediasi di atas . selain konvensi-konvensi estetik  yang sama dengan gagasan swingewood mengenai tradisi sastra di atas, wolff (1982:60-63) menemukan kemungkinan mediasi kondisi-kondisi produksi estetik adalah kondisi yang mengelilingi produk kultural yang didalamnya antara lain termasuk kondisi teknologis  dan institusional serta kondisi sosial dalam produk seni.
A.    mediasi semiotik
Secara general semiotik adalah bentangan luas objek,peristiwa, seluruh kebudayaan , sebagai tanda (Eco, 1979:6). Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai dasar konvensi sosial yang dianggap mewakili sesuatu yang lain. (Eco , 1979:16). Konvensi yang memungkinkan suatu objek , peristiwa atau suatu gejala kebudayaan menjadi tanda disebut sebagai kode sosial dan  ini adalah konsep kode tradisi dari swingewood.
Banyak pendapat mengenai keusastraan gejala semiotik, perbedaan pendapat itu berkisar pada segmentasi. Propp (1968) menentukan unit-unit karya sastra dari segi struktural- semiotik atas dasar kapasitas dari objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang ada di dalam karya sastra untuk menentukan secara kausal kemunculan objek-objek atau peristiwa yang lain. Greimas (hawkes, 1978) membagi kesusastraan menjadi tiga level atas dasar model linguistik, level fenomik,sintaktik, dan semantik. Di dalamsetiap level tersebut terdapat unit-unit yang  ditentukan atas dasar hubungan pasangan oposisional yang  bersifat formal, bukan substansial,sesuai dengan konsep homologi empat  term dari levi-strauss. Todorov (1985) membagi karya sastra menjadi tiga level yang berbeda yang juga menggunakan model inguistik, akan tetapi, unit-unit dalam setiap level ditentukan dengan cara yang berbeda dari greimas, yaitu antara lain atas dasar urutan logis dan kronologisnya.
Sulit untuk menentukan, teori semiotik kesusastraan mana yang diperkirakan dapat terintegrasi secara koherenn ke dalam sosiologi sastra. Aturan-aturan konensi atau kode-kode mempuyai empat kemungkinan hubungan  dengan struktur sosial yang didalamnya karya sastra yang  bersangkutan muncul. Empat kemungkinan hubungan itu adalah hubungan kelembagaan,  hubungan pemodelan, hubungan pembentukan, hubungan pembatasan.
1.      Hubungan kelembagaan
Aturan-aturan konvensi, atau kode-kode kesusastraan dapat dianggap sebagai suatu lembaga sosial yang sudah mapan, dipelihara, dipertahankan oleh masyarakat dan apabila bentuk dan isi yang ditentukan bersifat arbitrer dalam hubungan dengan substansi yang ada diluar dirinya maka konvensiitu tidak penting . karna konvensi kesusastraan dianggap sebagai suatu lembaga yang sah dan harus dipelihara dan dipertahankan.
Adanya hubungan kelembagaan antara konvensi sastra dengan masyarakat serupa itu terjadi pula diIndonesia, misalnya di pertengahan pertama abad XX. Seperti yang terungkap dalam kebangkitan puisi baru Indonesia karya sutan takdir alisyahbana pada dekade-dekade pertama tahun 1930-an,  terjadi penolakan yang kuat terhadap segala bentuk sastra lama sebab bentuk sastra lama itu telah dianggap usang.
2.      Hubungan pemodelan
Lotman (1979) menyaebutkan sastra sebagai sistem pemodelan tingkat kedua, sastra merupakan sistem pemodelan yang ditumpangkan pada sistempemodelan pertama, yaitu bahasa. Sastra merupakan suatu wacana yang memodelkan semesta yang tidakterbatas dalam suatu semesta imajiiner yang terbatas.
Philippe Sollers,Culler (1975) mengatakan bahwa novel berfungsi sebagai model yang dengannya masyarakat memahamidirinya sendiri.di dalam novel kata-kata disusun sedemikian rupa agar melaluii aktifitas pembacaan akan muncul suatu model mengenai suatu dunia sosial,model-model personalitas individual, model hubungan antara individu dengan masyarakat, dan lebih penting lagi, model signifikasi dari aspek-aspek dunia tersebut. Model mengenai dunia sosial antara lain berupa gambaran tata kehidupan sosial yang demokratis, yang di dalamnya hubungan cinta antara laki –laki dan perempuan tidak didasarkan pada perbedan ras, kealas, ataupun status sosial. Hal –hal yang dianggap bermakana dalam kehidupan seperti cinta, harga diri, alam, laut, ombak, malam yang sunyi, dan sebagainya juga menjadi model mengenai kehidupan dalam novel –novel pada periode tersebut.
3.      Hubungan pembentukan
Hubungan penmbentukan antara karya sastera dengan pandangan dunia atas steruktus sosial yang terjadi akibat adanya konvensi yang kusus digunakan karya sastra. Karna adanya cara penggarapan yang kusus itu, pemahaman mengenai pandangan dunia atu struktur sosial yang di expresikan oleh karnya sastra tidak dapat dilakukan tanpa pemahaman mengenai konfensi yang membentuk cara tersebut.
Menurut wolff (1892) hadjinicolaou menganalisis fisual kritis dari lukisan –lukisan rembradt,  hogart, dan goyah, dengan cara demikian ia mencobah memahami idiologi tersebut dengan mempertimbangakan perubahan –perubahan formal yang terjadi akibat pengolahan yang kusus dari karya senih yang  bersangkutan.
Di dalam sastra indonesia kencenderungan yang demikian mungkin menyolok dalam puisi –puisi pujangga baru. Pandangan politik dalam proses penyaringan konvensi sastra romantik hal yang sama terjadi pula pada beberapa novel balai pustaka, misalnya sitti nurbaya.
Sitti nurbaya dapat dikatakan sebagai satu –satunya novel balai pustaka yang memuat peristiwa politik di dalamnya yaitu peristiwa pemberontakan masyarakat padang terhadap belanda akibat munculya peraturan baru mengenai pajak. Maka terbentuklah sikap yang tersirat dan tersurat. Sikap yang tersurat menempatkan peristiwa politik sebagai bagian dari cerita cinta romatik. Samsul bahri, toko utama  novel itu berperan karna hanya ingin mencari kematiannya sendiri,agar dapat meyusul kekasihnya di akhirat. Akan tetapi dengan konvensi itu pengarang juga mengemukakan sikap tersiratnya. Karna hanya untuk mecari kematiannya sendiri, keterlibatan samsul bahri dalam peperangan itu tidak bersifat politis.
4.      Hubungan pembatasan
Menurut wolff (1982) konvensi –konvensi produksi sastra atauestetik tertentu mungkin tidak mengisinkan pertanya –tanyan, gagasan –gagasan, nilai –nilai, atau  peristiwa –peristawa tertentu. Pengukpan pembatasan –pembatasan konvisional itu menjadi penting sebab akan menyingkapkan idiologi yang terdapat dibalik teks  itu.
Emha ainun nadjib (1984) mengukapkan bahwa sastra indonesia dikuasai oleh konvensi “bisu”  karna melarang masuk berbagai kenyataan sosial dan politik kedalam karya sastra. Dalam tulisannya yang lain (1985) emha juga berceritan mengenai kesulitanya untuk tidak menulis puisi yang  hanya tentang “daun –daun ”, untuk memasukan realitas kedalam puisi, karna kuatnya pungaruh konvensi “bisu” di atas.
Emha menganggap konvensi “bisu” merupakan konvensi sastra yang dependen yang menjadi tangan panjang dan menguntukngkan kaum establishment.
Menurut Eagleton (1983), di abat XVIII  di ingris konsep kesusastraan tidak dibatasi hanyasebagai tulisan –tulisan kreatif atau imajinatif. Kesusastraan pada waktu itu di pahami sebagai tubuh menyeluruh dari tulisan yang bernilai dalam masyarakat seperti sejarah, esai, surat, dan juga puisi. Apa yang membuta sebuah teks dianggap sastra bukan karna fiksionalitasnya, melaikan kecocokanya dengan standar tertentuh mengenai “tulisan –tulisan sopan”.
Eagleton mengatakan bahwa pengertian moderen mengenai kesusastraan baru mencul di abat XIX, pada saman romantik. Penyimpana kategori kesusastraan pada karia –karia yang disebut karia kreatif dan imajinatif . Kata   imajinatif  itu bersifat ambigu,dapat berati sebagai sesuatu yang secara literal tidak benar dan dapat pula berati infesi atau ramalan.
Adanya teuri semacam itu, menurut Eagleton, merupakan sesuatu yang tidak kebetulan, melainkan berhubungan dengan jenis masyarakat, periode historis yang didalamnya kaum romantik itu hidup.  Periode historis adalah periode refolusi perubahan dari rezim kolonialis dan fiodal kerizim kelas yang sedang bangkit . Akan tetapi, harapan itu segerah memasuki kontradiksi  dalam hubungan dengan realitas yang keras dari rezim borjuis baru. Di inggris utilitariansme segera menjadi idiologi dominan dari kelas menengah industri, membangun pemujaan terhadap fakta, pereduksian hubungan –hubungan manusiawi pada pertukaran pasar, dan penghinaan terhadap seni sebagai hiasan yang tidak menguntukan.
Disiplin-disiplin yang diingin kapitalisme industrial merenggutkan akarkomunitas keseluruhan, membalikan kehidupan manusia menjadi budak upahan, memaksakan suatu proses kerja yang mengalienasikan pada kelas pekerja yang baru terbentuk, dan tidak  ingin mengerti apapun yang tidak dapat ditransformasi menjadi suatu komoditas di pasar bebas.
Keistimewaan yang diberikan oleh kaum romatik pada imajinasi kereatif dapat dilihat lebih dari sekedar, sebaiknya kesusatraan sekerang menjadi salah satu kangtung kecil yang di dalamnya nilai –nilai kreatif. Kreasi imajinatif dapat ditawarkan sebagai suatu citra dari kerja yang tidak teralienasi, wawasa trasendetal dan intuitif dari pikiran puitik dapat memberikan suatu kritik yang hidup terhadap ideologi –ideologi rasiologi dan emperisis yang di perbudak oleh fakta.
Akan tetapi dalam radikalisme kesusatraan diatas ditemukan pulah tekanan yang lain, tekanan pada kedaulatan dan otonomi imajinasi. Jika kodrat transendetal dari imajinasi.adanya jarak dari persoalan –persoalan yang semata prosaik dari, misalnya, aktifitas memberikan makan kepadah anak –anak atau perjuangan bagi keadilan politik.
Pemisahan diri dari sejarah itu pun mencermikan situasi aktul penulis. Seni menja komoditi seperti barang –barang yang lainnya. Akan tetapi, karna barangyang ditawarkan oleh seniman berbedah dari barang dagangan biasa. Mereka semakain  tersisih kepinggiran. Di hilangkan dari tempat sesungguhnya dalam gerakan sosial yang mungkin secara aktual mentransformasikan kapitalisme industrial di suatu masyarakt adil, penulis itu semakin di pojokan ke dalam kesendirian pikiran kreatifnya. Pandangan mengenai suatu masyarakat yang adil seringkali di balikan g menjadi suatu nostalgi yang impoten akan inggris “organik” yang sudah lenyab.
B.     KONDISI –KONDISI PRODUKSI SASTRA
Sebagaimana telah dikemukakan, kondisi produksi senih menurut wolff  terdiri  antara lain dari kondisi teknologis, institutional, dan kondisi sosial dan historis yang nyata dari produksi kesenian, termasuk kesusatraan.
1.Kondisi  teknologi
Dengan mendasarkan diri pada pendapat febvre,eisentein dan james,wolff  memaparkan penemuan tegnologi percetakan dan pengaruhnya terhadap kesusastraan.menurutnya,penemuan mesin cetak mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap kehidupan kultural dan intelektual dan juga pada hubungan-hubungan sosial.dengan penemuan alat cetak yang lebih efisien di dekade-dekade awal abat Xix terjadi perluasan jangkaun yang cepat bagi karya-karya sastra ke publik pembaca yang luas dan dengan demikian perluasan yang cepat pula dalam kesusastraan yang di produksi.
Karya sastra dapat menjangkau audien-audien baru pada gilirannya menyebabkan bentuk-bentuk karya sastra yang baru pula mempertahankan pandanggannya bahwa kebangkitan novel sebagai jenis sastra yang baru  di abad XVIII erat bertalian dengan pertumbuhan kelas menenggah baru yang menjadi  audian baru karia sastra tersebut.
Akan tetapi bagi wolff  penemuan teknologi itu sesungguhnya bukan merupakan sebab yang pertama. Penemuan teknologi itu hanya merupakan mediasi untuk memenuhi kebutuhan adien baru yang lebih dahulu mencul. Dalam hal ini penemuan teknologi menjadi tidak netral, melaikan di dikte oleh kekuatan –kekuatan sosial tertentu.
2. lembaga –lembaga sosial
Menurut wolff , dalam produksi seni pada umumnya lembaga –lembaga sosial memengaruhi siapa yang menjadi seniman, bagaiman mereka dapat mempraktikan seninya, dan bagaimana mereka dapat yakin bahwa karya mereka akan diproduksi, diperagakan, atau dibuat tersedia bagi suatu publik tertentu.
Dalam hal lebaga sosial ini, menurut wolff ada tiga hal yang harus di pertimbangkan, yaitu : sestem rekruitmen dan latihan seniman, sistem ptronasi dan pada mediator atau “penjaga gawang ”
A.    Rekruitemn dan pelatihansiniman
Griff (1970), mengatakan bahwa rekruitmen merupakansebuah istila yang biasa digunakan menujuk pada proses –proses yang mendasa bagi penarikan anggota –anggota baru dalam satu kelompok.
Hauser (1951), menujukan bahwa pada zaman batu atau sini berhubungan langsung  dengan kebutuhan material, yakni merupakan sarana magis untuk menghadirkan binatang –bintang buruan dan alam. Setiap orang dapat menjadi siniman dan tuntutan penciptaan karia seni di dorang langsung oleh kebutuhan material.
Pada zaman batu baru seni berkaitan erat dengan upacarah pemujaan roh –roh atau kekuatan –kekuatan spiritual yang padnya masyarakat bergantung. Kegiatan seni yang bersifat religius itu mulai menjadi kegiatan profesi.
Tradisis yang demikian berlanjut dan berkembang dengan mulai terbentuknya kota –kota kerajan pertama. Karna sifatnya  yang relegius dan dekat dengan pemujaan konsumen seni pada tahap ini adalah para pendekat dan para raja.
Dalam kontes serupah itu mendorang untuk memasuki dunia kesenian senderung merupakan campuran antar faktor material dengan faktor sosial. Seni tidakhanya profesi yang dapatdijadikan sumber pencarian, melainkan jalan masuk ke dalam kelas sosial yang lebih tinggi. Hal serupah terjadi juga bagi rekruitmen para kritikus sini  sebagai mana yang di kemukakan oleh kramer (1970). Di pihak lain, para penguasa sendiri menediakan pusa –pusat latihan seniman seperti gilde –gilde dan akademi –akademi kesinian.
Griff (1970) mengatakan bahwa di zaman moderen rekruitmen seniman bersifat meluas terhadap jenjang profesi yang harus di masuki seniman sebab tidak ada lagi pusat –pusat latihan seniman yang  kusus. Hal tidak terdapat sistem rekriutmen di dalamnya mekanisme utama yang memompa suatu arus bakat kedala seni dalam saman moderen ini terutama sekalih adalah sestem sekolah dan pendidikan kusus dan aksidental yang dilakukan sponsor tertentu misalnya museum.
Wolff setuju dengan pendapat griff  bahwa sekolah dan latar belakang keluarga dengan nilai –nilai dan tekanannya mempengaruhi apa yang di kerjakan oleh seniman. Menurutnya ada kekuatan  sosial dan kelembaggan tertentu cenderung menekan kehadiri wanita dalam dunia kesenian. Oleh karna itu didalam penulisan sejarah kesenian wanita cenderung ditiadakan. Kekuatan sosial dan kelembagaan itu antara lain adalah akademik –akademik kesenian, penerbit, dan kritikus.
B.     Sistem –sitem patronasi
Menurut laurenson (1972) aspek sentral patronase yang relewan bagi sosiologi sastra adalah lembaga tersebut membentuk suatu hubungan tukar menukar antara orang secara berpasangan dengan status yang tidak sama. Dilain pihak ada siniman yang memberikan kesetiaannya dan kemashuran kepada ptronsebagai imbal,proteksi, dan keuntungan yang di berikan oleh patron tersebut.
Laurenson membedakan tiga jenis sistem patronase kesusatraan, yaitu sistem ptronasi lama, sistem patronase baru, dan sistem patronase tidak langsung. Di dalam sistem patronase yang lama ada identifikasi atara sastrawan dan oatronnya, ada hubungan pribadi yang kuat. Sastrawan bahkan banyak yang tinggal di kediaman sang patron juga kadang –kadang menempatkan kesetiaan kepada sang patron lebih utama daripada profedinya sendirisebagai sastrawan. Di dalam sestem patronose yzng baru atau yang lebih kemudian, terutama seperti  yang terjadi di inggris patronnya cenderung lebih longgar. Dalam sistem patronase yang kemudian itu tidaklah mengherangkan apabila seorang satrawan menjadi relatif  mudah untuk berganti dari satu patron ke patron lain yang lainnya. Sistem patronase tidak langsung adalah sistem patronase yang di dalamnya yang patron cenderung hanya berfungsi sebagai mediator dari hubungan antara sastrawan dengan publiknya. Sistem patronase yang tidak langsung ini di zaman moderen yang kapitalis yang di dalamnya kehidupan sastrawan tidak bergantung pada patronnya, melainkan tergantung pada audensinya, pada hukum penawaran dan permintaan pasar. 
Selain itu, dalam hubungannya dengan sistem patronase itu Leurenson juga membedakan dampak mental dari masing –masing sistem patronase di atas. Menurutnya,  di dalam sistem patronase lama terdapat stuktur sosial yang relatif kohesif dan homogen sehingga ada keterbagian dalam pengalaman, harapan, kecemasan, dan pandangan dunia antara sastrawan dengan patron dan masyarkannya. Sistem patronase yang baru merupakan transisi antar sistem patronase yang pertama dengan yang ketiga. Di dalam sistem patronase yang ketiga  hubungan antara sastrawan dengan patronnya dan dengan masyarakatnya cenderung terframentasikan. Sastrawanharus berhadapan dengan sekmen –segmen pasar yang heterogen, yang membuatnyaberada dalam aisi yang penu dengan ketidakpastian dan  lagi sanggup menangkap masyarakatnya dalam totalitasnya.
Berdasarkan dari laurenson yang cenderung melihat hubungan antara sastrawan dan ptronnya dari segi keterbagian pandangan dunia mereka, Wolff(1982) melihat hubungan itu dari segi pengaruh langsung atau tidak langsung dari patro terhadap karya –karya sastrawan.
Menurt Wolff abad XV dan sebelimnya di Inggris, patron –patron melakanakan apa yang sekarang disebut sebagai interferensi yang kasar kedalam karya –karya seniman, misalnya dengan menentukan warna yang harus digunakan si sineman, atau bagaimana cara menggambarkan figur –figur ke dalam kanvas. Pada priode –priode setelahnya, peranan yang demikian tetap terjadi walaupun keterlibatan langsung patron pada karya seniman sudah tidak biasa.
Wolff mengatakan patronase kesusastraan juga memainkan peran penting dalam sejarah sastra, dari patronase raja –raja dangereja di abad XIV dan XV sampai pada patronase lingkaran aristokratik yang lebih luas di abad XVI dan ptron –patron politik di dekade –dekade terakir abad XVII. Apabilah pada zaman feodal sifat leks –teks dengan jelas dipengaruhi oleh hubungan yang erat antar sastrawan  dengan patronnnya, sejak tahun 1600 hubungan yang erat dan sangat tergantung itu lenyap.
Dari sekitar pertengahan abad XVIII para sastrawan menghadapisatu sistem baru, yang menawarkan kemerdekan yang lebih luas sebagai akibat lenyapnya  sistem patronase,  tetapisekaligu membuat kehidupan mereka lebih gentingdan takut kepada hubungan –hubungan pasar dan ketidak pastian ekonomik. Semakin lama para penerbit dan para pedagang buku semakin mengambil alih fungsi fasilitator bagi sastrawan dari ptron sasta.
Akan tetapi, kenyatan tersebut tidak sekaligus berati bahwa sistem patronase lenyap sama sekalih dan sastrawanterus –menerus  berada dalam keadaan yang genting tersebut.pada abad  XX  muncul bentuk –bentuk patronase baru yang pada tingkat tertentu dapat menggantikan hubungan –hubungan ptronase tradisional. Para penulis mungin menulis intuk televisi,  fotografer mungin dipekerjakan oleh surat kabar, dan yang terlebih penting lagi para sastrwan dapat pulah memperoleh perlindungan dan dana baik dari pemerintah maupun yayasan –yayasan suasta tertentu melaluiberbagai lembaganya  seperti dewan kesenian dan asosiasi seni regionall di Inggris yang berkerja sama dengan pengusaha –pengusaha lokal.
Sebagaimana halnya sistempatronase tradiosional, sistem patronase moderen itu pun tidak bekerja secara netral memang tidak terdapat interfernsi langsung oleh “patron” kedalam apa yang di produksi oleh sastrawan, tetapi bahwa ada seleksi tertentu dalam  pemberian dana dapat mengindekasikan ideologi ptron yang bersangkutan. Seleksi itu bersangkut  -paut  pula dengan apa yang diproduksi oleh sastrawan.
Henning (1970) mengemukakan bahwa pengaruh patron terhadap karya –karya seniman dapat rerjadi melalui tiga cara yaitu stipulasi, pembangunan daya tarik, dan seleksi.stipulasih mencakup semuah printah yang aktual yang harus dilaksanakan oleh seniman. Daya tarik mengisyaratkan kemampuan suatu kelompok untuk menarik minat seniman terhadap titik pandangannya sendiri dengan suatu iklim intelektual atau moderen yang simpatik dan juga dengan sokongan material. Seleksi melibatkan pilihan terhadap karya –karya seni.  Seleksi yang dilakukan oleh patron yang biasanya berasal dari kelompok ekonomi atas dapat mempengaruhi seniman utnuk menciptakan gaya yang sejenis.
3. Mediasi dan Historis
            Wolff percaya bahwa segala aktivitas ideologi sebagai superstruktus ditentukan oleh aktifitas material sebagai infrasturukturnya. Ia pun percaya bahwa struktur kelas merupakan struktur yang penting yang menentukan struktus bentuk –bentuk ideologi itu. Akan tetapi baginya hubungan antara keduanya hal tersebut tidaklah langsung dan sederhana, melaikan melalui berbagai mediasi. Salah satunya adalah mediasi sosial dan historis.
            Yang dimaksud dengan mediasi sosila adalah kemukinanadanya substruktur sosila yang tidak dibatasi oleh batas –batas kelas, melaikan terbentuk oleh berbagai macam bentuk pengelopokan seperti pengelompokanatas dasar atas generasi,jenis kelamin, profesi dan sebagainyatara berbagai pengelompokan ini mungkin sekali terjadi hubungan yang oposisional atau bertumpang –tindih semuahnya tidak dapat ditentukan secara general,melaian merupakan sesuatyang historis. Pada zaman tertentu akan terbentuk formasi sosial yang mungkin berbeda dengan zaman yang lain.
Dalam hal serupah penelitian Goldmann mengenai karya –karya Racine dan Pascal merupakan contah pentingbagi Wolff. Menurutnya, Goldmann menghubungkan kesusastraan dengan ideologi, dan struktur kelas tanpa menggunakan penyamaan reduksionis yang sederhana. Hubungan antar pembagian ekonomik dengan produksastra tidak didefinisikan sebagai hubungan deterministrik yang kausal dan kasar, melainkan dipersentasiakan sebagai hubungan yang termediasi melalui kelompok –kelompok sosial dan produk artistik tanpa mengacu  kepada persepsi –persepsi dan intensi –intensi masyarakat yang berhubungan denganya. Hal itu tidakdengan sendirinya mengingkari bahwa dalam karya –karyanya yang terakhir dijumpai berbagai kelemahan.
Menurut Wolff, meskipun Goldmann berbicara mengenai kelas –kelas sosial sebagai pengelompokan yang secara histori paling signifikan, ketika berbicara mengenai kesusastraan, ia segerah menyadari bahwa persoalanya tidak sesedehana itu. Dalam kasus abad XVII di Prancis, kelompok yang diidentifikasihnya merupakan suatu kelompok yang secara kritis penting pada kenyatannya merupakan suatu fraksi dari suatu kelas atau mungkin, lebih tepatnya, suatu kelompok yang secara tidak tertentukan berada pada titik keseimbangan di antara dua kelas histori yang untama. Dengan demikian, kata Wolff, situasi histori selalu lebih kompleks daripada perumusan –perumusan sederhana yang mengaitkan karya sastra secara langsung  misalnya dengan kelas borjuis, kelas proletar, atau kelas aristokrasi yang memudar. Setiap kelas dominan atau subordinal dan, dengan demikina, ideologi yang bermacam –macam. Selai itu, ideologi pun biasanya tidak selalu menjadi suatu pandanan dunia yang koheren seperti yang  cenderung di percayai bahkan oleh Goldmenn sendiri. Hadjinicolau, kata Wolff, mengatakan bahwa dalam kasus lukisan ternyata bahwa ideologi kelas –kelas dominan dapat menerobosmasuk ke dalam ideologi kelas –kelas yang terdominasi sehingga terjadi persaingan antara ideologis dalam ideologi visual seni yang bersangkutan.

Demikian berbagai mediasi yang ada dalam hubungan antara  sastra dan masyarakat. Seluruh urain di atas menujukan bahwa hubungna satra dan masyarakat bukanlah hubungan yang langsung seteri yang cenderung diasumsumsi dan diyakini oleh sosiologi sastra marxis yang awal. Di antara kedua kutub tersebut membentuk berbagai substrukturyang menjadi mediatornya. Akan tetapi, betapa pun banyaknya lapisan –lapisan mediasi tersebut, hal itu tidak dengan sendirinya pula berati hubungan antara sastra dengan masyarkatituterputussam sekali. Dalam kerengaka teoritis dan ideologis marxis kemungkinan terbuatakan selalu ditolak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar