Sastra dan masyarakat
beberapa mediasi
Teori
strukturalisme-genetik goldmann mengukuhkan adanya hubungan antara sastra
dengan masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikan.
Akan tetapi ada beberapa kritik yang menyatakan bahwa teori tersebut masih
sederhana sekali untuk memahami dan menjelaskan fenomena sosial sastra.
Swingewood mengisyaratkan perlunya
pemahaman mengenai tradisi sastra dengan
masyarakat. Wolff juga
mengisyaratkan perlunya mempertimbangkan formasi sosial yang di luar batas
kelas sebagai mediasi dari hubungan antara sastra masyarakat terseut.
Wolff bahkan menemukan persoalan yang lebih rumit dari
sekedar kedua kemugkinan mediasi di atas . selain konvensi-konvensi
estetik yang sama dengan gagasan
swingewood mengenai tradisi sastra di atas, wolff (1982:60-63) menemukan
kemungkinan mediasi kondisi-kondisi produksi estetik adalah kondisi yang
mengelilingi produk kultural yang didalamnya antara lain termasuk kondisi
teknologis dan institusional serta
kondisi sosial dalam produk seni.
A.
mediasi semiotik
Secara
general semiotik adalah bentangan luas objek,peristiwa, seluruh kebudayaan ,
sebagai tanda (Eco, 1979:6). Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai dasar
konvensi sosial yang dianggap mewakili sesuatu yang lain. (Eco , 1979:16).
Konvensi yang memungkinkan suatu objek , peristiwa atau suatu gejala kebudayaan
menjadi tanda disebut sebagai kode sosial dan
ini adalah konsep kode tradisi dari swingewood.
Banyak
pendapat mengenai keusastraan gejala semiotik, perbedaan pendapat itu berkisar
pada segmentasi. Propp (1968) menentukan unit-unit karya sastra dari segi
struktural- semiotik atas dasar kapasitas dari objek-objek atau peristiwa-peristiwa
yang ada di dalam karya sastra untuk menentukan secara kausal kemunculan
objek-objek atau peristiwa yang lain. Greimas (hawkes, 1978) membagi
kesusastraan menjadi tiga level atas dasar model linguistik, level
fenomik,sintaktik, dan semantik. Di dalamsetiap level tersebut terdapat
unit-unit yang ditentukan atas dasar
hubungan pasangan oposisional yang
bersifat formal, bukan substansial,sesuai dengan konsep homologi empat term dari levi-strauss. Todorov (1985) membagi
karya sastra menjadi tiga level yang berbeda yang juga menggunakan model
inguistik, akan tetapi, unit-unit dalam setiap level ditentukan dengan cara
yang berbeda dari greimas, yaitu antara lain atas dasar urutan logis dan
kronologisnya.
Sulit
untuk menentukan, teori semiotik kesusastraan mana yang diperkirakan dapat
terintegrasi secara koherenn ke dalam sosiologi sastra. Aturan-aturan konensi
atau kode-kode mempuyai empat kemungkinan hubungan dengan struktur sosial yang didalamnya karya
sastra yang bersangkutan muncul. Empat
kemungkinan hubungan itu adalah hubungan kelembagaan, hubungan pemodelan, hubungan pembentukan,
hubungan pembatasan.
1.
Hubungan kelembagaan
Aturan-aturan
konvensi, atau kode-kode kesusastraan dapat dianggap sebagai suatu lembaga
sosial yang sudah mapan, dipelihara, dipertahankan oleh masyarakat dan apabila
bentuk dan isi yang ditentukan bersifat arbitrer dalam hubungan dengan
substansi yang ada diluar dirinya maka konvensiitu tidak penting . karna
konvensi kesusastraan dianggap sebagai suatu lembaga yang sah dan harus
dipelihara dan dipertahankan.
Adanya
hubungan kelembagaan antara konvensi sastra dengan masyarakat serupa itu
terjadi pula diIndonesia, misalnya di pertengahan pertama abad XX. Seperti yang
terungkap dalam kebangkitan puisi baru Indonesia karya sutan takdir alisyahbana
pada dekade-dekade pertama tahun 1930-an, terjadi penolakan yang kuat terhadap segala
bentuk sastra lama sebab bentuk sastra lama itu telah dianggap usang.
2.
Hubungan pemodelan
Lotman
(1979) menyaebutkan sastra sebagai sistem pemodelan tingkat kedua, sastra
merupakan sistem pemodelan yang ditumpangkan pada sistempemodelan pertama,
yaitu bahasa. Sastra merupakan suatu wacana yang memodelkan semesta yang
tidakterbatas dalam suatu semesta imajiiner yang terbatas.
Philippe
Sollers,Culler (1975) mengatakan bahwa novel berfungsi sebagai model yang dengannya
masyarakat memahamidirinya sendiri.di dalam novel kata-kata disusun sedemikian
rupa agar melaluii aktifitas pembacaan akan muncul suatu model mengenai suatu
dunia sosial,model-model personalitas individual, model hubungan antara
individu dengan masyarakat, dan lebih penting lagi, model signifikasi dari
aspek-aspek dunia tersebut. Model mengenai dunia sosial antara lain berupa
gambaran tata kehidupan sosial yang demokratis, yang di dalamnya hubungan cinta
antara laki –laki dan perempuan tidak didasarkan pada perbedan ras, kealas,
ataupun status sosial. Hal –hal yang dianggap bermakana dalam kehidupan seperti
cinta, harga diri, alam, laut, ombak, malam yang sunyi, dan sebagainya juga
menjadi model mengenai kehidupan dalam novel –novel pada periode tersebut.
3.
Hubungan pembentukan
Hubungan
penmbentukan antara karya sastera dengan pandangan dunia atas steruktus sosial
yang terjadi akibat adanya konvensi yang kusus digunakan karya sastra. Karna
adanya cara penggarapan yang kusus itu, pemahaman mengenai pandangan dunia atu
struktur sosial yang di expresikan oleh karnya sastra tidak dapat dilakukan
tanpa pemahaman mengenai konfensi yang membentuk cara tersebut.
Menurut
wolff (1892) hadjinicolaou menganalisis fisual kritis dari lukisan –lukisan
rembradt, hogart, dan goyah, dengan cara
demikian ia mencobah memahami idiologi tersebut dengan mempertimbangakan
perubahan –perubahan formal yang terjadi akibat pengolahan yang kusus dari
karya senih yang bersangkutan.
Di
dalam sastra indonesia kencenderungan yang demikian mungkin menyolok dalam
puisi –puisi pujangga baru. Pandangan politik dalam proses penyaringan konvensi
sastra romantik hal yang sama terjadi pula pada beberapa novel balai pustaka,
misalnya sitti nurbaya.
Sitti
nurbaya dapat dikatakan sebagai satu –satunya novel balai pustaka yang memuat
peristiwa politik di dalamnya yaitu peristiwa pemberontakan masyarakat padang
terhadap belanda akibat munculya peraturan baru mengenai pajak. Maka
terbentuklah sikap yang tersirat dan tersurat. Sikap yang tersurat menempatkan
peristiwa politik sebagai bagian dari cerita cinta romatik. Samsul bahri, toko
utama novel itu berperan karna hanya
ingin mencari kematiannya sendiri,agar dapat meyusul kekasihnya di akhirat.
Akan tetapi dengan konvensi itu pengarang juga mengemukakan sikap tersiratnya.
Karna hanya untuk mecari kematiannya sendiri, keterlibatan samsul bahri dalam
peperangan itu tidak bersifat politis.
4.
Hubungan pembatasan
Menurut
wolff (1982) konvensi –konvensi produksi sastra atauestetik tertentu mungkin
tidak mengisinkan pertanya –tanyan, gagasan –gagasan, nilai –nilai, atau peristiwa –peristawa tertentu. Pengukpan
pembatasan –pembatasan konvisional itu menjadi penting sebab akan menyingkapkan
idiologi yang terdapat dibalik teks itu.
Emha
ainun nadjib (1984) mengukapkan bahwa sastra indonesia dikuasai oleh konvensi
“bisu” karna melarang masuk berbagai
kenyataan sosial dan politik kedalam karya sastra. Dalam tulisannya yang lain
(1985) emha juga berceritan mengenai kesulitanya untuk tidak menulis puisi
yang hanya tentang “daun –daun ”, untuk
memasukan realitas kedalam puisi, karna kuatnya pungaruh konvensi “bisu” di
atas.
Emha
menganggap konvensi “bisu” merupakan konvensi sastra yang dependen yang menjadi
tangan panjang dan menguntukngkan kaum establishment.
Menurut
Eagleton (1983), di abat XVIII di ingris
konsep kesusastraan tidak dibatasi hanyasebagai tulisan –tulisan kreatif atau
imajinatif. Kesusastraan pada waktu itu di pahami sebagai tubuh menyeluruh dari
tulisan yang bernilai dalam masyarakat seperti sejarah, esai, surat, dan juga
puisi. Apa yang membuta sebuah teks dianggap sastra bukan karna
fiksionalitasnya, melaikan kecocokanya dengan standar tertentuh mengenai
“tulisan –tulisan sopan”.
Eagleton
mengatakan bahwa pengertian moderen mengenai kesusastraan baru mencul di abat
XIX, pada saman romantik. Penyimpana kategori kesusastraan pada karia –karia
yang disebut karia kreatif dan imajinatif . Kata imajinatif
itu bersifat ambigu,dapat berati
sebagai sesuatu yang secara literal tidak benar dan dapat pula berati infesi
atau ramalan.
Adanya
teuri semacam itu, menurut Eagleton, merupakan sesuatu yang tidak kebetulan,
melainkan berhubungan dengan jenis masyarakat, periode historis yang didalamnya
kaum romantik itu hidup. Periode
historis adalah periode refolusi perubahan dari rezim kolonialis dan fiodal
kerizim kelas yang sedang bangkit . Akan tetapi, harapan itu segerah memasuki
kontradiksi dalam hubungan dengan
realitas yang keras dari rezim borjuis baru. Di inggris utilitariansme segera
menjadi idiologi dominan dari kelas menengah industri, membangun pemujaan
terhadap fakta, pereduksian hubungan –hubungan manusiawi pada pertukaran pasar,
dan penghinaan terhadap seni sebagai hiasan yang tidak menguntukan.
Disiplin-disiplin
yang diingin kapitalisme industrial merenggutkan akarkomunitas keseluruhan,
membalikan kehidupan manusia menjadi budak upahan, memaksakan suatu proses
kerja yang mengalienasikan pada kelas pekerja yang baru terbentuk, dan
tidak ingin mengerti apapun yang tidak
dapat ditransformasi menjadi suatu komoditas di pasar bebas.
Keistimewaan
yang diberikan oleh kaum romatik pada imajinasi kereatif dapat dilihat lebih
dari sekedar, sebaiknya kesusatraan sekerang menjadi salah satu kangtung kecil
yang di dalamnya nilai –nilai kreatif. Kreasi imajinatif dapat ditawarkan
sebagai suatu citra dari kerja yang tidak teralienasi, wawasa trasendetal dan
intuitif dari pikiran puitik dapat memberikan suatu kritik yang hidup terhadap
ideologi –ideologi rasiologi dan emperisis yang di perbudak oleh fakta.
Akan
tetapi dalam radikalisme kesusatraan diatas ditemukan pulah tekanan yang lain,
tekanan pada kedaulatan dan otonomi imajinasi. Jika kodrat transendetal dari
imajinasi.adanya jarak dari persoalan –persoalan yang semata prosaik dari,
misalnya, aktifitas memberikan makan kepadah anak –anak atau perjuangan bagi
keadilan politik.
Pemisahan
diri dari sejarah itu pun mencermikan situasi aktul penulis. Seni menja
komoditi seperti barang –barang yang lainnya. Akan tetapi, karna barangyang
ditawarkan oleh seniman berbedah dari barang dagangan biasa. Mereka
semakain tersisih kepinggiran. Di
hilangkan dari tempat sesungguhnya dalam gerakan sosial yang mungkin secara
aktual mentransformasikan kapitalisme industrial di suatu masyarakt adil,
penulis itu semakin di pojokan ke dalam kesendirian pikiran kreatifnya.
Pandangan mengenai suatu masyarakat yang adil seringkali di balikan g menjadi
suatu nostalgi yang impoten akan inggris “organik” yang sudah lenyab.
B.
KONDISI –KONDISI PRODUKSI SASTRA
Sebagaimana
telah dikemukakan, kondisi produksi senih menurut wolff terdiri
antara lain dari kondisi teknologis, institutional, dan kondisi sosial
dan historis yang nyata dari produksi kesenian, termasuk kesusatraan.
1.Kondisi teknologi
Dengan
mendasarkan diri pada pendapat febvre,eisentein dan james,wolff memaparkan penemuan tegnologi percetakan dan
pengaruhnya terhadap kesusastraan.menurutnya,penemuan mesin cetak mempunyai
pengaruh yang luar biasa terhadap kehidupan kultural dan intelektual dan juga
pada hubungan-hubungan sosial.dengan penemuan alat cetak yang lebih efisien di
dekade-dekade awal abat Xix terjadi perluasan jangkaun yang cepat bagi
karya-karya sastra ke publik pembaca yang luas dan dengan demikian perluasan
yang cepat pula dalam kesusastraan yang di produksi.
Karya
sastra dapat menjangkau audien-audien baru pada gilirannya menyebabkan
bentuk-bentuk karya sastra yang baru pula mempertahankan pandanggannya bahwa
kebangkitan novel sebagai jenis sastra yang baru di abad XVIII erat bertalian dengan
pertumbuhan kelas menenggah baru yang menjadi
audian baru karia sastra tersebut.
Akan
tetapi bagi wolff penemuan teknologi itu
sesungguhnya bukan merupakan sebab yang pertama. Penemuan teknologi itu hanya
merupakan mediasi untuk memenuhi kebutuhan adien baru yang lebih dahulu mencul.
Dalam hal ini penemuan teknologi menjadi tidak netral, melaikan di dikte oleh
kekuatan –kekuatan sosial tertentu.
2. lembaga
–lembaga sosial
Menurut
wolff , dalam produksi seni pada umumnya lembaga –lembaga sosial memengaruhi
siapa yang menjadi seniman, bagaiman mereka dapat mempraktikan seninya, dan
bagaimana mereka dapat yakin bahwa karya mereka akan diproduksi, diperagakan,
atau dibuat tersedia bagi suatu publik tertentu.
Dalam
hal lebaga sosial ini, menurut wolff ada tiga hal yang harus di pertimbangkan,
yaitu : sestem rekruitmen dan latihan seniman, sistem ptronasi dan pada
mediator atau “penjaga gawang ”
A. Rekruitemn
dan pelatihansiniman
Griff
(1970), mengatakan bahwa rekruitmen merupakansebuah istila yang biasa digunakan
menujuk pada proses –proses yang mendasa bagi penarikan anggota –anggota baru
dalam satu kelompok.
Hauser
(1951), menujukan bahwa pada zaman batu atau sini berhubungan langsung dengan kebutuhan material, yakni merupakan
sarana magis untuk menghadirkan binatang –bintang buruan dan alam. Setiap orang
dapat menjadi siniman dan tuntutan penciptaan karia seni di dorang langsung
oleh kebutuhan material.
Pada
zaman batu baru seni berkaitan erat dengan upacarah pemujaan roh –roh atau
kekuatan –kekuatan spiritual yang padnya masyarakat bergantung. Kegiatan seni
yang bersifat religius itu mulai menjadi kegiatan profesi.
Tradisis
yang demikian berlanjut dan berkembang dengan mulai terbentuknya kota –kota
kerajan pertama. Karna sifatnya yang
relegius dan dekat dengan pemujaan konsumen seni pada tahap ini adalah para
pendekat dan para raja.
Dalam
kontes serupah itu mendorang untuk memasuki dunia kesenian senderung merupakan
campuran antar faktor material dengan faktor sosial. Seni tidakhanya profesi
yang dapatdijadikan sumber pencarian, melainkan jalan masuk ke dalam kelas
sosial yang lebih tinggi. Hal serupah terjadi juga bagi rekruitmen para
kritikus sini sebagai mana yang di
kemukakan oleh kramer (1970). Di pihak lain, para penguasa sendiri menediakan
pusa –pusat latihan seniman seperti gilde –gilde dan akademi –akademi kesinian.
Griff
(1970) mengatakan bahwa di zaman moderen rekruitmen seniman bersifat meluas
terhadap jenjang profesi yang harus di masuki seniman sebab tidak ada lagi
pusat –pusat latihan seniman yang kusus.
Hal tidak terdapat sistem rekriutmen di dalamnya mekanisme utama yang memompa
suatu arus bakat kedala seni dalam saman moderen ini terutama sekalih adalah
sestem sekolah dan pendidikan kusus dan aksidental yang dilakukan sponsor
tertentu misalnya museum.
Wolff
setuju dengan pendapat griff bahwa
sekolah dan latar belakang keluarga dengan nilai –nilai dan tekanannya
mempengaruhi apa yang di kerjakan oleh seniman. Menurutnya ada kekuatan sosial dan kelembaggan tertentu cenderung
menekan kehadiri wanita dalam dunia kesenian. Oleh karna itu didalam penulisan
sejarah kesenian wanita cenderung ditiadakan. Kekuatan sosial dan kelembagaan
itu antara lain adalah akademik –akademik kesenian, penerbit, dan kritikus.
B. Sistem
–sitem patronasi
Menurut
laurenson (1972) aspek sentral patronase yang relewan bagi sosiologi sastra
adalah lembaga tersebut membentuk suatu hubungan tukar menukar antara orang
secara berpasangan dengan status yang tidak sama. Dilain pihak ada siniman yang
memberikan kesetiaannya dan kemashuran kepada ptronsebagai imbal,proteksi, dan
keuntungan yang di berikan oleh patron tersebut.
Laurenson
membedakan tiga jenis sistem patronase kesusatraan, yaitu sistem ptronasi lama,
sistem patronase baru, dan sistem patronase tidak langsung. Di dalam sistem
patronase yang lama ada identifikasi atara sastrawan dan oatronnya, ada
hubungan pribadi yang kuat. Sastrawan bahkan banyak yang tinggal di kediaman
sang patron juga kadang –kadang menempatkan kesetiaan kepada sang patron lebih
utama daripada profedinya sendirisebagai sastrawan. Di dalam sestem patronose
yzng baru atau yang lebih kemudian, terutama seperti yang terjadi di inggris patronnya cenderung
lebih longgar. Dalam sistem patronase yang kemudian itu tidaklah mengherangkan
apabila seorang satrawan menjadi relatif
mudah untuk berganti dari satu patron ke patron lain yang lainnya.
Sistem patronase tidak langsung adalah sistem patronase yang di dalamnya yang
patron cenderung hanya berfungsi sebagai mediator dari hubungan antara
sastrawan dengan publiknya. Sistem patronase yang tidak langsung ini di zaman
moderen yang kapitalis yang di dalamnya kehidupan sastrawan tidak bergantung
pada patronnya, melainkan tergantung pada audensinya, pada hukum penawaran dan
permintaan pasar.
Selain
itu, dalam hubungannya dengan sistem patronase itu Leurenson juga membedakan
dampak mental dari masing –masing sistem patronase di atas. Menurutnya, di dalam sistem patronase lama terdapat
stuktur sosial yang relatif kohesif dan homogen sehingga ada keterbagian dalam
pengalaman, harapan, kecemasan, dan pandangan dunia antara sastrawan dengan
patron dan masyarkannya. Sistem patronase yang baru merupakan transisi antar
sistem patronase yang pertama dengan yang ketiga. Di dalam sistem patronase
yang ketiga hubungan antara sastrawan
dengan patronnya dan dengan masyarakatnya cenderung terframentasikan.
Sastrawanharus berhadapan dengan sekmen –segmen pasar yang heterogen, yang
membuatnyaberada dalam aisi yang penu dengan ketidakpastian dan lagi sanggup menangkap masyarakatnya dalam totalitasnya.
Berdasarkan
dari laurenson yang cenderung melihat hubungan antara sastrawan dan ptronnya
dari segi keterbagian pandangan dunia mereka, Wolff(1982) melihat hubungan itu
dari segi pengaruh langsung atau tidak langsung dari patro terhadap karya –karya
sastrawan.
Menurt
Wolff abad XV dan sebelimnya di Inggris, patron –patron melakanakan apa yang
sekarang disebut sebagai interferensi yang kasar kedalam karya –karya seniman,
misalnya dengan menentukan warna yang harus digunakan si sineman, atau bagaimana
cara menggambarkan figur –figur ke dalam kanvas. Pada priode –priode
setelahnya, peranan yang demikian tetap terjadi walaupun keterlibatan langsung
patron pada karya seniman sudah tidak biasa.
Wolff
mengatakan patronase kesusastraan juga memainkan peran penting dalam sejarah
sastra, dari patronase raja –raja dangereja di abad XIV dan XV sampai pada
patronase lingkaran aristokratik yang lebih luas di abad XVI dan ptron –patron
politik di dekade –dekade terakir abad XVII. Apabilah pada zaman feodal sifat
leks –teks dengan jelas dipengaruhi oleh hubungan yang erat antar
sastrawan dengan patronnnya, sejak tahun
1600 hubungan yang erat dan sangat tergantung itu lenyap.
Dari
sekitar pertengahan abad XVIII para sastrawan menghadapisatu sistem baru, yang
menawarkan kemerdekan yang lebih luas sebagai akibat lenyapnya sistem patronase, tetapisekaligu membuat kehidupan mereka lebih
gentingdan takut kepada hubungan –hubungan pasar dan ketidak pastian ekonomik.
Semakin lama para penerbit dan para pedagang buku semakin mengambil alih fungsi
fasilitator bagi sastrawan dari ptron sasta.
Akan
tetapi, kenyatan tersebut tidak sekaligus berati bahwa sistem patronase lenyap
sama sekalih dan sastrawanterus –menerus
berada dalam keadaan yang genting tersebut.pada abad XX muncul
bentuk –bentuk patronase baru yang pada tingkat tertentu dapat menggantikan
hubungan –hubungan ptronase tradisional. Para penulis mungin menulis intuk
televisi, fotografer mungin dipekerjakan
oleh surat kabar, dan yang terlebih penting lagi para sastrwan dapat pulah
memperoleh perlindungan dan dana baik dari pemerintah maupun yayasan –yayasan
suasta tertentu melaluiberbagai lembaganya
seperti dewan kesenian dan asosiasi seni regionall di Inggris yang
berkerja sama dengan pengusaha –pengusaha lokal.
Sebagaimana
halnya sistempatronase tradiosional, sistem patronase moderen itu pun tidak
bekerja secara netral memang tidak terdapat interfernsi langsung oleh “patron”
kedalam apa yang di produksi oleh sastrawan, tetapi bahwa ada seleksi tertentu
dalam pemberian dana dapat
mengindekasikan ideologi ptron yang bersangkutan. Seleksi itu bersangkut -paut
pula dengan apa yang diproduksi oleh sastrawan.
Henning
(1970) mengemukakan bahwa pengaruh patron terhadap karya –karya seniman dapat
rerjadi melalui tiga cara yaitu stipulasi, pembangunan daya tarik, dan
seleksi.stipulasih mencakup semuah printah yang aktual yang harus dilaksanakan
oleh seniman. Daya tarik mengisyaratkan kemampuan suatu kelompok untuk menarik
minat seniman terhadap titik pandangannya sendiri dengan suatu iklim
intelektual atau moderen yang simpatik dan juga dengan sokongan material.
Seleksi melibatkan pilihan terhadap karya –karya seni. Seleksi yang dilakukan oleh patron yang
biasanya berasal dari kelompok ekonomi atas dapat mempengaruhi seniman utnuk
menciptakan gaya yang sejenis.
3. Mediasi dan Historis
Wolff percaya bahwa segala aktivitas ideologi sebagai
superstruktus ditentukan oleh aktifitas material sebagai infrasturukturnya. Ia
pun percaya bahwa struktur kelas merupakan struktur yang penting yang
menentukan struktus bentuk –bentuk ideologi itu. Akan tetapi baginya hubungan
antara keduanya hal tersebut tidaklah langsung dan sederhana, melaikan melalui
berbagai mediasi. Salah satunya adalah mediasi sosial dan historis.
Yang dimaksud dengan mediasi sosila adalah
kemukinanadanya substruktur sosila yang tidak dibatasi oleh batas –batas kelas,
melaikan terbentuk oleh berbagai macam bentuk pengelopokan seperti
pengelompokanatas dasar atas generasi,jenis kelamin, profesi dan sebagainyatara
berbagai pengelompokan ini mungkin sekali terjadi hubungan yang oposisional
atau bertumpang –tindih semuahnya tidak dapat ditentukan secara general,melaian
merupakan sesuatyang historis. Pada zaman tertentu akan terbentuk formasi
sosial yang mungkin berbeda dengan zaman yang lain.
Dalam hal serupah
penelitian Goldmann mengenai karya –karya Racine dan Pascal merupakan contah
pentingbagi Wolff. Menurutnya, Goldmann menghubungkan kesusastraan dengan
ideologi, dan struktur kelas tanpa menggunakan penyamaan reduksionis yang
sederhana. Hubungan antar pembagian ekonomik dengan produksastra tidak
didefinisikan sebagai hubungan deterministrik yang kausal dan kasar, melainkan
dipersentasiakan sebagai hubungan yang termediasi melalui kelompok –kelompok
sosial dan produk artistik tanpa mengacu
kepada persepsi –persepsi dan intensi –intensi masyarakat yang
berhubungan denganya. Hal itu tidakdengan sendirinya mengingkari bahwa dalam
karya –karyanya yang terakhir dijumpai berbagai kelemahan.
Menurut Wolff, meskipun
Goldmann berbicara mengenai kelas –kelas sosial sebagai pengelompokan yang
secara histori paling signifikan, ketika berbicara mengenai kesusastraan, ia
segerah menyadari bahwa persoalanya tidak sesedehana itu. Dalam kasus abad XVII
di Prancis, kelompok yang diidentifikasihnya merupakan suatu kelompok yang
secara kritis penting pada kenyatannya merupakan suatu fraksi dari suatu kelas
atau mungkin, lebih tepatnya, suatu kelompok yang secara tidak tertentukan
berada pada titik keseimbangan di antara dua kelas histori yang untama. Dengan
demikian, kata Wolff, situasi histori selalu lebih kompleks daripada perumusan
–perumusan sederhana yang mengaitkan karya sastra secara langsung misalnya dengan kelas borjuis, kelas
proletar, atau kelas aristokrasi yang memudar. Setiap kelas dominan atau
subordinal dan, dengan demikina, ideologi yang bermacam –macam. Selai itu,
ideologi pun biasanya tidak selalu menjadi suatu pandanan dunia yang koheren
seperti yang cenderung di percayai
bahkan oleh Goldmenn sendiri. Hadjinicolau, kata Wolff, mengatakan bahwa dalam
kasus lukisan ternyata bahwa ideologi kelas –kelas dominan dapat menerobosmasuk
ke dalam ideologi kelas –kelas yang terdominasi sehingga terjadi persaingan
antara ideologis dalam ideologi visual seni yang bersangkutan.
Demikian berbagai
mediasi yang ada dalam hubungan antara
sastra dan masyarakat. Seluruh urain di atas menujukan bahwa hubungna
satra dan masyarakat bukanlah hubungan yang langsung seteri yang cenderung
diasumsumsi dan diyakini oleh sosiologi sastra marxis yang awal. Di antara
kedua kutub tersebut membentuk berbagai substrukturyang menjadi mediatornya.
Akan tetapi, betapa pun banyaknya lapisan –lapisan mediasi tersebut, hal itu
tidak dengan sendirinya pula berati hubungan antara sastra dengan
masyarkatituterputussam sekali. Dalam kerengaka teoritis dan ideologis marxis
kemungkinan terbuatakan selalu ditolak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar